Maggot Bagian dari Solusi Persampahan dan Ketahanan Pangan
Pengelolaan sampah di daerah perkotaan merupakan salah satu hal yang paling mendesak dan merupakan permasalahan lingkungan yang serius, dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di negara berkembang. Tantangan ini akan semakin meningkat karena adanya trend urbanisasi yang terjadi dan tumbuh dengan cepat di populasi masyarakat perkotaan, selain itu kita pun bisa merasakan perilaku konsumtif yang ada pada tatanan masyarakat kita dan juga mempengaruhi terhadap permasalahan sampah itu sendiri.
SOLUSI MENGURANGI SAMPAH DENGAN MAGOT
Adupi, Jakarta – Kondisi persampahan kita sangat memprihatinkan, mayoritas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah nyaris penuh dan tempat sampah liar muncul di mana-mana. Beruntung muncul berbagai inisiatif kreatif dari masyarakat untuk mengelola sampah secara mandiri.
Budidaya maggot Black Soldier Fly (BSF) atau lalat tentara hitam, misalnya yang mulai marak dibudidayakan oleh masyarakat. Markus Susanto, founder PT Trimitra Sinergi Utama menjelaskan saat ini “diasumsikan” ada 5000 pegiat maggot rata-rata mengolah sampah organik 2.500 ton per hari.
Jumlah tersebut masih kecil dibandingkan volume sampah Indonesia yang mencapai lebih dari 60 juta ton per tahun, dimana 60 – 70 persen diantaranya adalah sampah organik. Itu artinya, baru tiga persen sampah yang bisa dikelola untuk budidaya maggot. Meski demikian, pegiat BSF ini harus berjibaku mengeluarkan biaya tak sedikit untuk mendapatkan sampah tersebut.
“Jadi budidaya BSF oleh masyarakat belum seberapa dibandingkan dengan volume sampah organik, tapi kehadirian BSF menjadi solusi untuk kelola sampah juga meningkatkan efisiensi dan produktivitas peternakan dan pertanian,” kata Chief Executive Officer PT Maggot Indonesia Lestari.
Para peternak bisa menggunakan BSF sebagai pakan alternative dengan harga jual rata-rata Rp5000-Rp7000. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan pakan pabrik dengan komposisi proten yang sama, yakni antara Rp10 ribu – Rp12 ribu.
Menurut Markus, larva BSF ini mengandung asam amino dan lipid yang dapat memberikan kekebalan atau antibody pada hewan ternak. Sedangkan di sector pertanian, pupuk dari maggot ini sudah diuji coba di perkebunan teh seluas 80 hektare dan hasil panennya meningkat 20 persen.
Sejauh ini, permintaan masyarakat cukup prospektif pada pakan dan pupuk dari BSF ini. Begitu pun teknologi yang digunakan sangat menunjang kegiatan produktivitas, salah satunya dengan teknologi Buhler Swiss yang dapat mengekstrasi larva BSF menjadi protein asam amino, lipid, insect oil, chitin chitosan, diamana produk turunannya memilliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
“Saya dapat info pada 9 September lalu dari Pak Novrizal (Direktur PSLB3 KLHK) bahwa dari hasil diskusi dengan komisi X DPR RI, Kemenetrian Pertanian memasukan BSF sebagai salah satu produk pertanian. Ini bisa menjadi peluang usaha,” kata Markus.
Memang, sebagai negara beriklim tropis yang menghasilkan mayoritas sampah organik, seyogyanya pengelolaan sampah diarahkan untuk katahanan pangan dan kelestarian lingkungan. Budidaya maggot BSF bisa menjadi solusi persoalan sampah di Indonesia.
“Bila urusan sampah organik selesai, maka tuntaslah persoalan sampah karena sampah non organik juga sudah ada yang mengelolanya melalui daur ulang bahkan sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) juga sudah ada yang mengelolanya,” ucap Markus.
Ia berharap ada sinergi dari kementerian dan lembaga dalam memfasilitasi pengolahan sampah secara tepat guna. Kementerian PUPR, KLKH, Kementerian Pertanian, KKP dan BUMN seyogyanya bersatu di bawah komando Kementerian Koordinator untuk bersama-sama meningkatkan ketahanan pangan melalui tata kelola sampah organik dan an organik.
Semoga saja sampah sampah dinegara kita ini bisa dimanfaatkan lebih baik lagi
Semoga kalian senang dengan Blog BSF PEMALANG
Post a Comment